Tulisan ini saya buat setelah sang guru semasa SMA menelpon saya yang menanyakan keadaan putra dan
anak didiknya yang sedang melanjutkan studi di salah satu Perguruan Tinggi di
bandung. Dalam percakapan singkat itu beliau menanyakan bagaimana perkembangan
putranya disana, pukul berapa dia tidur, pukul berapa balik ke rumah, sudah
makan atau belum, gimana kondisi kesehatannya dan masih banyak lagi. Mungkin
bagi saya beliau adalah bapak yang sangat perhatian terhadap anak-anaknya, yang
biasanya, hal-hal seperti itu hanya sering dilakukan oleh Ibu-ibu saja. Dalam
hati saya sempat bertanya pada diri saya sendiri, apakah bisa saya seperhatian
beliau nanti. Wallahu Alam.
Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi
topik yang ingin saya tulis, tapi terkait dengan bagaimana keadaan saya sendiri
disini, menjadi mahasiswa yang serba pas-pasan. Tinggi pas-pasan, pengetahuan
pas-pasan, muka pas-pasan, isi dompet juga pasan, pokoknya banyakkan pasnya
deh. Tapi kalau pas itu ada enaknya juga sih, misalnya, karena ekonomi
pas-pasan jadi tidak ngekost (*harus bisa menghibur diri), harus tinggal jauh
dari kampus, tepatnya di rumah sang guru yang saya ceritain tadi, karena di
rumah itu hanya di tinggali oleh para mahasiswa, tapi pemiliknya sendiri
tinggal di NTB.
Setiap berangkat kuliah saya harus
benar-benar pagi, bukan pagi lagi sih, sebelum subuh malah, tidak terlalu jauh
kok, Cuma 1 kali naik ular besi, 1 kali naik angkot. Tapi tidak apa-apa, kalau
dipikirkan enakkan cari kos-kosan dekat kampus saja, itu kalau dipikirkan, beda
kalau dipertimbangkan masalah biaya, jadi kalau saya minta dikirimin uang buat
bayar kos, mungkin akan diusahakan, tapi mumpung ada rumah, kenapa harus
tinggal di kos.
Sebenarnya jauh itu bukan kendala, setelah saya amati juga beberapa siswa
dari SD bahkan sampai SMA yang sekolahnya jauh dari tempat tinggalnya harus bolak balik dengan kereta dan angkot setiap
hari asyik-asyik saja. Kenapa saya yang kuliahnya tidak sampai empat hari harus kalah
sama mereka yang masih kecil, belum lagi tugas sekolah mereka yang harus dikerjakan tiap
hari. Masa kita kalah sama anak-anak,..
Kalau mahasiswa lain akan mengatakan
kalau jauh takut terlambat, capek di jalan, gak kuat, hasilnya nanti tidak maksimal. setiap orang punya pendapat masing-masing, menurut versi saya sih beda, karena jauh saya bisa lebih
disiplin bagaimana mengatur waktu. saya harus menganggap waktu itu seperti pedang,
jika tidak bisa menggunakannya, maka dia akan melukai. Kalau saya terlambat sedikit saja, saya
bakalan ketinggalan kereta dan resikonya tidak bisa mengikuti perkuliahan. Jadi Tergantung strategi bagaimana kita
menyiasatinya saja, “ Hidup ini pintar itu tidak cukup, tapi harus
pintar-pintar”.
3 komentar:
dari tulisan dikau, nampaknya sudah banyak ilmu perenungan yang gak cuma pas-pasan selama di angkot Ed hehehe :, lanjut terus nulisnya :)
ya,,ya,,makasih suportnya Win. (y)
semoga pahalanya setimpal dengan jerih payahnya. semngat mas!! ^^
Posting Komentar