Pages

Kamis, 05 September 2013

Untitled

Tulisan ini saya buat setelah sang guru semasa SMA menelpon saya yang menanyakan keadaan putra dan anak didiknya yang sedang melanjutkan studi di salah satu Perguruan Tinggi di bandung. Dalam percakapan singkat itu beliau menanyakan bagaimana perkembangan putranya disana, pukul berapa dia tidur, pukul berapa balik ke rumah, sudah makan atau belum, gimana kondisi kesehatannya dan masih banyak lagi. Mungkin bagi saya beliau adalah bapak yang sangat perhatian terhadap anak-anaknya, yang biasanya, hal-hal seperti itu hanya sering dilakukan oleh Ibu-ibu saja. Dalam hati saya sempat bertanya pada diri saya sendiri, apakah bisa saya seperhatian beliau nanti. Wallahu Alam.

Tapi sebenarnya bukan itu yang menjadi topik yang ingin saya tulis, tapi terkait dengan bagaimana keadaan saya sendiri disini, menjadi mahasiswa yang serba pas-pasan. Tinggi pas-pasan, pengetahuan pas-pasan, muka pas-pasan, isi dompet juga pasan, pokoknya banyakkan pasnya deh. Tapi kalau pas itu ada enaknya juga sih, misalnya, karena ekonomi pas-pasan jadi tidak ngekost (*harus bisa menghibur diri), harus tinggal jauh dari kampus, tepatnya di rumah sang guru yang saya ceritain tadi, karena di rumah itu hanya di tinggali oleh para mahasiswa, tapi pemiliknya sendiri tinggal di NTB.

Setiap berangkat kuliah saya harus benar-benar pagi, bukan pagi lagi sih, sebelum subuh malah, tidak terlalu jauh kok, Cuma 1 kali naik ular besi, 1 kali naik angkot. Tapi tidak apa-apa, kalau dipikirkan enakkan cari kos-kosan dekat kampus saja, itu kalau dipikirkan, beda kalau dipertimbangkan masalah biaya, jadi kalau saya minta dikirimin uang buat bayar kos, mungkin akan diusahakan, tapi mumpung ada rumah, kenapa harus tinggal di kos.

Sebenarnya jauh itu bukan kendala, setelah saya amati juga beberapa siswa dari SD bahkan sampai SMA yang sekolahnya jauh dari tempat tinggalnya harus  bolak balik dengan kereta dan angkot setiap hari asyik-asyik saja. Kenapa saya yang kuliahnya tidak sampai empat hari harus kalah sama mereka yang masih kecil, belum lagi tugas sekolah mereka yang harus dikerjakan tiap hari. Masa kita kalah sama anak-anak,..

Kalau mahasiswa lain akan mengatakan kalau jauh takut terlambat, capek di jalan, gak kuat, hasilnya nanti tidak maksimal. setiap orang punya pendapat masing-masing, menurut versi saya sih beda, karena jauh saya bisa lebih disiplin bagaimana mengatur waktu. saya harus menganggap waktu itu seperti pedang, jika tidak bisa menggunakannya, maka dia akan melukai.  Kalau saya terlambat sedikit saja, saya bakalan ketinggalan kereta dan resikonya tidak bisa mengikuti perkuliahan. Jadi Tergantung strategi bagaimana kita menyiasatinya saja, “ Hidup ini pintar itu tidak cukup, tapi harus pintar-pintar”. 

3 komentar:

Parlina Wi mengatakan...

dari tulisan dikau, nampaknya sudah banyak ilmu perenungan yang gak cuma pas-pasan selama di angkot Ed hehehe :, lanjut terus nulisnya :)

Unknown mengatakan...

ya,,ya,,makasih suportnya Win. (y)

Mari Tertawa mengatakan...

semoga pahalanya setimpal dengan jerih payahnya. semngat mas!! ^^